Dalam kehidupan sehari-hari, sangat mudah bagi kita untuk mencerna kisah sukses dari beberapa orang atau bahkan dari sebuah perusahaan, apalagi yang bersifat keajaiban dengan meniadakan kemustahilan. Padahal, ada banyak cerita kegagalan di sisi lainya sering kita abaikan. Kenapa cerita kegagalan seperti itu kurang banyak didengar?
Bahkan sekalipun ada satu kisah kesuksesan besar, sebetulnya di baliknya selalu ribuan cerita kegagalan. Tetapi mungkin cerita kegagalan memang tak semenarik cerita sukses, sehingga jarang sekali diungkapkan. Adakah yang pernah mengadakan seminar kegagalan? “Mari Meraih Kedamaian Hidup Dengan Kegagalan,” jangankan berbayar, seminar seperti itu sekalipun gratis mungkin akan sepi peminat. Alhasil, kita sering lupa mengukur potensi kegagalan dan cenderung menganggap mudah meraih kesuksesan.
Kesalahan berpikir secara umum ini sering disebut survivorship bias, sebuah kesalahan yang merubah cara pandang kita terhadap bagaimana dunia ini bekerja.
The missing bullet holes
Pada Perang Dunia II, tepatnya tahun 1943. Amerika pada waktu itu mengalami banyak kerugian oleh pertahanan udara Jerman. Militer Amerika pada saat itu berpikir untuk menanggulangi hal tersebut, dan bertanya pada tim Statistical Research Group (SRG) dari Colombia University, disitulah mereka pertama kali bertemu dengan ahli statistik bernama Abraham Wald.
Militer Amerika memberikan pertanyaan seperti ini: ”Berapa banyak pelapis baja yang harus dipasang di pesawat? Pelapis ini melindungi dari tembakan, tapi membuat pesawat lebih berat, sulit bermanuver, serta membutuhkan bahan bakar yang lebih.”
Militer tersebut kemudian memberikan data-data dari pesawat yang berhasil kembali, dimana terlihat bahwa titik kerusakan yang diakibatkan oleh tembakan pertahanan Jerman tidak terdistribusi secara merata diseluruh badan pesawat. Banyak lubang pada bagian badan pesawat, namun tidak pada bagian mesin.
Dari fakta tersebut, terlihat bahwa efisiensi lapisan pelindung bisa di fokuskan pada bagian yang sering tertembak. Tentu ini akan lebih baik dibanding melapisi seluruh bagian pesawat. Namun Abraham Wald memberikan jawaban yang diluar dugaan,
“the armour shouldn’t go where the bullets are. It should go where they aren’t: on the engines”
Jawaban tersebut sangat masuk akal, dimana seharusnya tembakan musuh memang terdistribusi secara merata, baik di bagian badan ataupun mesinnya. Pertanyaan Abraham pada akhirnya menyadarkan kita, “apa yang sebenarnya kita lewatkan?”, dimana bagian yang terlewatkan sebetulnya adalah tembakan pada pesawat yang tak berhasil kembali.
Alasan dari pesawat yang berhasil kembali namun memiliki kerusakan yang sedikit pada bagian mesin, adalah pesawat yang tertembak pada bagian itu memang tidak dapat kembali. Pesawat-pesawat itu hilang, jatuh, atau meledak seketika sehingga tidak terdata di pangkalan udara Amerika. Dilain sisi, jumlah pesawat yang kembali namun memiliki banyak kerusakan pada bagian badan pesawat menunjukan bahwa sebetulnya tembakan pada bagian tersebut bisa ditoleransi, sehingga tidak memerlukan tambahan lapisan baja pelindung.
Abraham kemudian membuktikan asumsinya melalui hitungan yang dia buat, dimana kemudian rekomendasinya itu terus digunakan hingga perang korea dan vietnam, dan menyelamatkan banyak nyawa.
Itulah cerita melegenda dari survivorship bias, dimana data yang dianalisa hanya berdasarkan cerita sukses saja.
The bias in business
Cerita Abraham pada Perang Dunia II mungkin sudah beberapa kali kita dengar, lalu bagaimana contoh serupa terjadi di dunia bisnis? Sebelum kesitu, mari kita singgung sedikit sebuah kisah yang sering diceritakan pada seminar-seminar.
“They dropped out of college and became millionaires, so will I!”
Sebuah kalimat yang memang nyatanya tak hanya muncul di seminar atau acara-acara motivasi, jika kita mencoba mencari siapa yang sukses dengan tidak menyelesaikan kuliahnya (dropped out) pada mesin pencarian google, maka akan muncul nama besar seperti Jobs, Gates, dan Zuckerberg. Coba saja. Mereka menjadi contoh pengusaha sukses yang memiliki ide gila, melakukan sebuah lompatan inovasi, dan sukses secara ajaib.
Tapi, kita melewatkan banyak fakta dari ketiga orang tersebut, bahwa ada ratusan dan mungkin ribuan yang tidak menyelesaikan kuliahnya namun tidak seberuntung mereka bertiga. Bahkan faktanya, penelitian menunjukan bahwa hampir 90% pengusaha sukses (forbes billionaires) di Amerika Serikat justru memiliki latar belakang pendidikan yang baik.
Jadi, menganggap gelar sarjana sebagai indikator kesuksesan adalah sebuah contoh bias, padahal ada banyak faktor lain yang bisa diukur. Kejadian yang terjadi pada Jobs, Gates, dan Zuckerberg memang betul adanya, tapi tentu tidak sama untuk semua orang. Maka penting untuk kita melihat semua fakta sebelum mengambil sebuah kesimpulan.
“Sales team from X Company used marketing strategy A to increase conversion rate by 40%, I will use the same and get the same result”
Sekarang kita beralih ke dunia bisnis sehari hari, banyak sekali artikel yang menulis bahwa sebuah perubahan kecil dalam strategi membawa perubahan besar bagi perusahaan itu sendiri, lalu kita terinspirasi mengadopsinya. Kita kemudian menggebu gebu, membahasnya dalam rapat bulanan, lalu berharap mendapatkan hasil yang sama.
Tapi, jika kita belajar dari survivorship bias tadi, seharusnya kita bisa melihat lini bisnis atau perusahaan lain yang mengadopsi strategi yang sama, namun mendapatkan hasil yang justru kurang memuaskan.
X Company barangkali memang berhasil menaikan 40% konversinya dengan strategi marketing A, tapi yang tidak diceritakan adalah bahwa ada perubahan struktur yang terjadi di dalam perusahaannya, ada juga langkah mengurangi pengeluaran yang berlebihan dari iklan-iklan yang dirasa kurang optimal, serta berbagai tindakan lain yang tidak diceritakan di permukaan.
Maka jika mengasumsikan bahwa kenaikan akan terjadi hanya dengan strategi yang sama, tanpa melihat faktor lainnya, kemungkinan kita hanya akan berakhir kecewa, atau setidaknya tidak mendapatkan bonus tahunan karena gagal membuat rencana.
What to do
Dari beberapa contoh diatas, kita menyadari bahwa mengambil keputusan dari apa saja yang hanya terlihat di permukaan nyatanya kurang tepat. Banyak hal-hal tersembunyi yang justru menjadi faktor kunci keberhasilan itu sendiri, namun tak sering bahkan luput untuk digali.
“Consider what you don’t see”
Maka kedepannya, jika kita membaca sebuah cerita orang sukses atau keberhasilan sebuah perusahaan, jangan berhenti dan merasa puas dengan “Saya akan melakukan yang sama!”, tapi berpikirlah “Berapa banyak orang yang melakukan hal yang sama namun gagal?”. Atau bahkan, jika sedang menganalisa sebuah data, jangan selesai dengan melihat di permukaan saja, namun kumpulkan lebih banyak fakta dan coba lihat keseluruhannya, apakah kesimpulannya akan sama?
Mari kita cari relevansi dengan kehidupan sehari-sehari. Sangat umum di masyarakat bahwa kuesioner digunakan sebagai alat pengumpulan data, lalu analisa dilakukan berdasarkan data yang terkumpul. Tapi kita seringkali lupa bahwa profil dari responden yang tidak mengisi kuesioner juga sama pentingnya. Atau contoh lainnya adalah penilaian pada sebuah toko online, yang mana biasanya mereka yang mengisi nilai tersebut didominasi oleh yang puas dan tidak puas, sedangkan masih banyak yang tidak mengisi ulasan. Entah karena sibuk, atau karena merasa produk tersebut biasa saja sehingga dia lupa. Jadilah kita mendapatkan informasi dari pelanggan yang menulis ulasan saja.
Pada dasarnya, memahami survivorship bias bukanlah sebuah pembenaran untuk tidak melakukan tindakan, melainkan sebuah pola pikir untuk mengurangi bias itu sendiri. Jika kita ingin melakukan suatu hal, apalagi mengambil suatu kesimpulan hingga berakhir tindakan, maka lakukan itu dengan informasi dan data lebih lengkap.
Referensi :
A Method of Estimating Plane Vulnerability Based on Damage of Survivors by Arthur Wald 1943 (reprint 1980)
What goes into high educational and occupational achievement? Education, brains, hard work, networks, and others factors by Jonathan Wai 2007